PENERAPAN FUNGSI BAHASA ARAB DI PESANTREN SALAFI
“Dayah” Begitu Masrakat Aceh menyematkan namanya. Istilah yang tepat untuk menggambarkan sebuah lembaga pendidikan bernuansa salafi yang berada di Aceh. Masyarakat di luar Aceh lebih mengenalnya dengan sebutan pondok salafi atau pesantren salafi. Karena berdasarkan Hasil riset sederhana yang saya lakukan, istilah “Dayah” terdengar asing di telinga mereka.
Berbicara masalah salafi, tentunya turats lah yang menjadi kajian utama setiap santri yang memilih bermukim di pondok atau pesantren yang bernuansa salafi tersebut. Melalui penyajiannya yang menggunakan bahasa arab dalam memaparkan kemajemukan hukum syariat membuat para santri mau tak mau harus mendalami linguistik arab sebagai pengantar dalam memahami kajian turast. Baik secara tekstual maupun kontekstual.
Sintaksis (ilmu nahwu), morfologi (ilmu sharaf), dan penguasaan leksikologi (mufradat) adalah disiplin linguistik arab yang mesti diprioritaskan oleh para santri dan pendidik dalam mengkaji berbagai turats.
Di berbagai kesempatan, saya pernah berjumpa dengan beberapa individu yang berpersepsi bahwa “para santri lulusan pondok salafi yang telah bertahun tahun bermukim disana begitu mahir mengkaji berbagai turats yang disajikan menggunakan bahasa arab, namun tidak cakap untuk berkomunikasi dengan bahasa arab itu sendiri. Mengapa demikian ?
Semoga, wacana ini dapat menjawab keheranan masyarakat luar yang masih terlalu asing terhadap pengenalan sistem pembelajaran pondok salafi. Khususnya tentang bagaimana penerapan fungsional bahasa arab itu sendiri pada pondok salafi.
Berbeda penerapan fungsional sebuah bahasa sebagai bahasa asing dalam suatu pembelajaran bahasa maka, membedakan pula kompetensi yang dimiliki oleh para pelajar terhadap keterampilan berbahasa tersebut. Selain fungsi bahasa asing adalah sebagai sarana komunikasi antar individu, lembaga, negara maupun dunia, bahasa asing juga berfungsi sebagai sebuah kajian ilmu yang dipelajari gramatikalnya untuk dijadikan perantara dalam memahami berbagai naskah yang bersajikan bahasa asing tersebut. Bersebab adanya multifungsi dari sebuah bahasa, maka terjadilah perbedaan dalam menggunakan sebuah metode pembelajaran bahasa asing yang pastinya akan berimplikasi pada kompetensi setiap individu.
Jika kita berbicara tentang penilaian masyarakat dewasa ini terhadap potensi para santri lulusan pondok salafi tentang kecakapan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa arab, maka estimasi para masyarakat tersebut patut untuk dikritisi. Secara tidak langsung, mereka telah memadukan dua kompetensi berbahasa yang setiap kompetensi tersebut dimotori oleh metode yang berbeda dalam mencapai tujuannya.
Kompetensi berbahasa yang pertama yaitu, mampu membaca dan memahami teks. Kompetensi ini menjadi tujuan utama dalam kegiatan pembelajaran bahasa arab untuk menghasilkan individu-individu yang mampu membaca, memahami bahkan menganalisis berbagai bacaan yang disajikan dengan bahasa arab. termasuk Turast sekalipun. Untuk mencapai kompetensi ini, perlu dimotori oleh berbagai metode pembelajaran bahasa arab tertentu. Baik metode terbaru maupun metode terdahulu. Seperti metode pembelajaranTamyiz, metode Al-miftah Lil ‘Ulum, metode qawa’id tarjamah, dan metode sorogan. Kebanyakan metode ini dipakai dalam kegiatan pembelajaran bahasa arab di berbagai dayah salafi dalam hal mengkaji turast. Dan metode ini tentunya mengabaikan keterampilan yang sangat mendasar dalam mempelajari bahasa asing. Yaitu keterampilan berkomunikasi dengan bahasa itu sendiri.
Sedangkan Kompetensi berbahasa yang kedua yaitu, mampu berbicara dengan bahasa tersebut. Kompetensi ini menjadi tujuan utama dalam kegiatan pembelajaran bahasa arab untuk menghasilkan individu-individu yang mampu berkomunikasi lisan secara baik dan wajar dengan bahasa arab dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai kompetensi ini, juga perlu dimotori oleh berbagai metode pembelajaran bahasa arab tertentu. Seperti metode muhadatsah, metode audio-lingual, dan metode mubasyarah. Kebanyakan metode ini dipakai dalam kegiatan pembelajaran bahasa arab di berbagai pondok pesantren modern dalam hal meningkatkan kemampuan berbahasa arab para santri. Dan metode ini tentunya mengabaikan penguasaan gramatikal. Sehingga tidak jarang kita dapatkan para santri lulusan pondok pesantren modern yang sangat cakap berkomunikasi dengan bahasa arab namun tidak sesuai aturan gramatikal.
Dalam pembelajaran bahasa arab, memiliki berbagai macam metode. Dan setiap metode tentunya memiliki kelebihan maupun kekurangan. Pemilihan metode tersebut akan di sesuaikan dengan fungsi bahasa yang telah ditilik sebelumnya. Dan kebanyakan Dayah salafi di Aceh, memandang fungsi bahasa arab adalah sebagai sebuah kajian ilmu yang dipelajari gramatikalnya untuk dijadikan perantara dalam memahami berbagai kitab kuning. Berbeda hal nya dengan pondok modern yang memandang bahasa arab sebagai alat berkomunikasi dalam sehari-hari. Sehingga, tidak heran jika santriwan maupun santriwati lulusan dayah salafi tidak begitu cakap dalam berkomunikasi menggunakan bahasa arab, yang namun mereka begitu lihai dalam menguasai teori gramatikal berbahasa arab.
Komentar
Posting Komentar