ANTARA KONSEP TEOLOGI IMAM ASY'ARI MATURIDI DAN IBNU TAIMIYAH


Oleh: Sarah Ulfah*

Berbicara kontekstualisasi kalimat tauhid, yaitu tentang keesaan Allah SWT dan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang menjadi utusan terakhir, semua ummat islam tegas dan sependapat akan hal ini. Bahkan, status keislaman nya tidak diakui jika tidak menyetujui dan meyakini tentang makna daripada kalimat tauhid tersebut.

Belakangan ini, ummat islam seringkali disibukkan dengan perdebatan teologis. Bukan tentang kontekstualisasi kalimat tauhid, melainkan tentang konsep pembelajaran ilmu tauhid yang lebih tepatnya berada pada titik tentang bagaimana mengenal Allah yang sebenarnya.

Terdapat sekurang kurangnya dua kelompok dengan pendekatan yang berbeda-beda dalam pembahasan tentang bagaimana mengenal Allah SWT. Satu kelompok berpegang kepada pendapat Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Maturidi. Sedangkan satu kelompok lagi berpegang kepada pendapat Ibnu Taymiyyah.

Jika Ibnu Taymiyyah mengajarkan konsep tauhid uluhiyyah, rububiyyah, dan asma' wash-shifat sebagai washilah untuk mengenal zat Allah SWT, Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari mengajarkan konsep sifat 20 yang telah disusun secara sistematis pada kurun ke-4. Dan secara garis besar kedua konsep ini sama-sama mengajarkan keesan Allah SWT dan berhak nya Allah atas seluruh sifat kesempurnaan tanpa ada batas. Namun tetap saja terdapat titik perbedaan dalam kedua konsep tersebut dalam mengenal Zat Allah SWT. Yang mana pada titik itu lah terjadinya ketidak sepakatan dalam berfikir. sehingga terjadilah bantah saling membantah antara kedua belah pihak.

Dewasa ini, terdapat banyak sekali argument-argument kontradiktif yang di lontarkan oleh pengikut konsep teologis Ibnu Taymiyyah kepada golongan Asy'ariyyah dan Maturidiyyah. Sebagian daripada argument tersebut adalah :

1. Cara mengenal Allah Swt yang sebenarnya adalah melalui asma' wash-shifat. Bukan sifat 20

Para pengikut konsep teologis Ibnu Taymiyyah kerap sekali menikai tentang pembahasan sifat 20 yang telah dikonsepkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Maturidi secara sistematis. Melalui pengajaran tauhid yang berkonsepkan sifat 20, mereka berestimasi bahwa kita telah membatasi bilangan sifat-sifat kesempurnaan pada hak Allah ta'ala hanya kepada 20 sifat saja. Dan menurut mereka, pengajaran tauhid yang sebenarnya adalah melalui 99 asmaul husna atau disebut dengan tauhidul asma' wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama sifatnya) dan meyakini secara mantap bahwa Allah SWT menyandang seluruh sifat kesempurnaan tanpa batasan dan suci daripada sifat kekurangan tanpa batasan pula.

Berkaitan dengan argument diatas, terdapat sebuah buku karangan ustadz Muhadir bin Haji Jol yang berjudul “ sifat 20 suatu pengenalan asas ” sanad berguru beliau sampai kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada bagian terakhir dalam buku tersebut beliau menjelaskan bahwa golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah TIDAK membatasi bilangan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada sifat 20 saja. Dan pembahasan sifat 20 TIDAK menafikan sifat-sifat kesempurnaan (kamalat) yang tak terhingga bagi Allah SWT. Hal tersebut terbukti dalam ibarat kitab Matn Umm al-Bahrain (h. 3) :

 فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ عِشْرُوْنَ صِفَةً

“ Maka sebahagian daripada barang (sifat) yang wajib bagi Tuhan kita yang maha tinggi dan maha megah adalah 20 sifat “

Perkataan فَمِمَّا berasal dari tiga kata yaitu  فَ مِنْ dan  مِنْ . ما  disini adalah مِنْ تبعضية ” yaitu مِنْ yang menunjukan arti sebahagian. Dari sini sudah sangat jelas bahwa konsep teologis mengenal Allah yang diajarkan oleh imam Asy’ari melalui pembahasan sifat 20 sama sekali tidak membataskan bilangan sifat-sifat kesempurnaan pada hak Allah SWT. Karena sifat 20 tersebut merupakan bahagian daripada sifat-sifat kesempurnaann-Nya Allah SWT.

Sebenarnya, dalam pembahasan sifat 20 itu sendiri, keseluruhan 99 asmaul husna sudah terangkum di dalamnya. Sebagai contoh al-muhyi (yang menghidupkan), al-mumit (yang mematikan), an-nafi’ (yang memberi manfaat), adh-dhaar (yang mendatangkan mudharat) dalam asmaul husna semuanya terangkum pada sifat Qudrah (berkuasa) dalam kajian sifat 20.

Argument kondratiktif berikutnya adalah :

2. Mengenal Allah melalui pembahasan sifat 20 adalah falsafah. Menurut mereka, Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari telah menyisipkan kajian falsafah yang tidak di benarkan di dalam islam.

Islam tidak pernah menolak sesuatu yang baik dan memberi manfaat. Termasuk memepelajari falsafah. Falsafah yang tidak dibenarkan dan di larang dalam islam sendiri adalah falsafah yang bercampur dengan unsur kekufuran (الفلسفاة المخلوطة بالكفريات).

Dan, pembahasan sifat 20 adalah bersih daripada unsur-unsur falsafah yang membawa kepada kekufuran. Karena aqidah yang terdapat pada pembahasan sifat 20 masih tetap berlandasan dalil-dalil yang qath’i yaitu Al-Quran dan Hadist.

Sudah sangat jelas, jika kita berbicara tentang falsafah berarti juga berbicara tentang rasio (akal). Dan, konsep teologis Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari juga tidak mengabaikan penggunaan rasio dalam mengenal Allah SWT setelah terlebih dahulu menilik dalil-dalil yang qath’i yaitu Al-Quran dan Hadist.

Terlebih lagi ayat-ayat Al-Quran maupun hadist itu sendiri memerintahkan kita menggunakan akal untuk mengenal Zat Allah SWT. Karena, dengan menggunakan akal yang logis yang dijadikan sebagai dalil-dalil aqli pada pembahasan sifat 20, dianggap sudah cukup kuat untuk membentengi akidah kita dari faham-faham syubhah dan keliru. Seperti faham Musyabbihah, mujassimah, muktazillah dan lain sebagainya. Dan pada konsep teologis Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, semua faham tersebut telah ditolak dengan dalil akal pada pembahasan sifat mustahil di sifat 20.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer